Jika masa kecil kalian bermain bola di lapangan rumput yang hijau, dengan peralatan sepatu dan perlengkapan lainnya, maka berbeda dengan kami. Di kampung kami terdapat satu lapangan berumput. Ukuran kecil, dan difungsikan sebagai lapangan olahraga volly. Maka para anak-anak seusia kami yang ingin bermain bola harus mencari akal agar bisa melakukan permainan.

Akhirnya kami mendapatkan tempat. Tempat penjemuran gabah (padi) yang sudah tidak terpakai lagi di kampung kami. Kami menyebutnya ”Bunen”. Setiap sore bermain disitu. Selepas jam 4 kami sudah berkumpul di “lapangan”. Lapangan itu beralaskan semen, jadi jangan harap kalau jatuh atau salah nendang kaki kalian akan baik-baik saja. Karena kami tak pakai sepatu, kami bermain dengan kaki telanjang. Lapangan itu sangat berharga bagi kami. Tempat bersenang-senang selepas di sekolahan yang membuat pusing kepala.

Kami bermain dengan alat seadanya. Gawang kami buat dari tumpukan bebatuan dengan lebar 3 langkah. Kadang juga dengan tumpukan sandal dari kami. Lapangan itu pun juga tak lebar-lebar amat, mungkin panjang sekitar lima puluh meter serta lebarnya sekitar sepuluh meter. Lapangan kami tepat di pinggir jalan. Jalan utama kampung. Jika ada yang menendang terlalu kencang, bisa-bisa keluar dan masuk ke jalan raya.

Kami bermain bola dengan bola plastik yang harganya tiga ribuan, waktu itu. Entahlah sekarang harga bola plastik berapa. Umur bola kami tak ada seminggu. Jika sial, belum ada sehari (sekali bermain) saja bola kami sudah hancur karena tendangan-tendangan kaki, dan crash antar pemain. Dalam bahasa kami “gaparakan” maksudnya, seperti per-aduan antar kaki dan di tengahnya bola. Maka bola yang sial akan kempes atau sobek karena tak kuat menahan peraduan kaki tersebut. Dan terpaksa kami beli lagi.

Kami membeli bola dengan cara kolektifan. Atau kadang ada yang punya bola dan dibawa. Kami jika iuran tak banyak, per orang lima ratus rupiah. Bola sudah dibeli, maka bola tersebut kami kasih lubang agar bolanya enak dimainkan. Kami lubangi beberapa lubang dengan jarum atau kawat pagar yang terdapat di pinggir lapangan yang memagari lapangan dengan jalan raya.

Kami bermain dengan gembira. Tak ada wasit tak ada aturan yang pasti. Maksudnya tak pasti ialah, misal si penjaga gawang itu agak pendek, dan jika ada tendangan mengarah kepadanya jika ia tak nyampai menggapai bola (atas) maka tak jadi goal. Adalagi yang susah mengakui jika si pemain itu hands ball.

Tak hanya itu, posisi-posisi pemain juga ditentukan oleh peraturan yang tak jelas. Misal ia jago menggocek bola, maka sudah pasti ia menjadi striker. Kemudian jika ada yang berbadan besar, maka ia akan menjadi  pemain belakang. Untuk penjaga gawang adalah posisi yang tak sexy. Keseringan yang paling gak bisa bermain bola jadi kiper. Atau jika teman satu teamnya sudah lelah, maka akan menjadi kiper. Begitulah aturannya. Tak pasti dan tak jelas.

Pernah suatu kali kami bermain bola dengan bola kulit. Teman kami ada yang punya. Ada seorang teman ketika menendang bola terlalu kencang dan keluar lapangan mengarah ke jalan raya. Kemudian mengenai pengendara motor dan sialnya jatuh tuh pengendara. Suasana hening sejenak lalu saling menyalahkan. Kami patungan dua puluh ribu (kalau tak salah) setiap orang untuk mengganti kerusakan motor dan biaya pengobatan. Tentu yang menendang iurannya paling banyak.

Kami waktu itu masih sekolah dasar. Uang segitu zaman dulu sangat besar dan itu di kampung. Ada beberapa teman yang sudah SMP yang mengurus pengobatan dan mengantarkan yang jatuh pulang ke rumah. Sialnya lagi, si pengendara yang kena bola itu bukan warga sekitar. Kampungnya jauh dari kampung kami.

Kejadian itu langsung menyebar di kampung. Besoknya, kami tak main bola. Ada sebagian teman yang dimarahi ibunya dan tidak diperbolehkan main bola lagi di lapangan kami. Ada yang kapok. Hanya gegaranya satu, bola kulit! Selang beberapa hari tak ada seminggu, kami bermain bola lagi di lapangan kami dengan bola plastik. kejadian itu tak akan menyurutkan untuk bermain bola dan bergembira.

Kami bermain bola hanya sebentar. Kemungkinan sekitar 1 jam. Jika waktunya bedug magrib tiba kita semua akan pulang. “peluit” kita adalah bedug magrib atau suara adzan magrib atau kadang-kadang bola pecah.

Sekarang lapangan kami sudah mati. Tak terpakai lagi. adik-adik generasi saya kadang main bola, tapi di lapangan volly. Mungkin tak menarik bagi mereka lapangan itu. Mereka lebih asik bermain handpone sendiri atau kadang bermain playstation di rumah temannya.

Lapangan kami hingga saat ini tak berubah. Tak banyak yang berubah sama sekali. Paling sekarang karena tak dipergunakan lagi, maka ia banyak ditumbuhi rerumputan seperti tidak terawat. Sekarang sepi, sunyi karena di sorenya tak ada ketawa-ketawa kecil kami, tak ada keceriaan anak-anak dan mungkin akan selamanya tak terpakai untuk main bola lagi.

Keterangan : foto saya ambil pada 29-11-2012.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here