Saya tiba di bandara Adi Soemarmo pukul satu lebih tiga puluh menit. Siang. Tujuan utama perjalanan saya kali ini adalah pulang ke kampung. Ya, kampung kecil di sebuah kabupaten Ngawi. Dari kota Solo bisa menghabiskan sekira sembilan puluh menit perjalanan melalui bus antar kota. Setelah landing, saya menyambung dengan menggunakan bus Damri yang dibanderol duapuluh ribu saja. Bus tersebut pemberhentian terakhir di terminal Tirtonadi. Kata mba petugas di bandara, “kalo mau ke Ngawi, nanti turunnya di Tirtonadi aja Mas dan cuman setengah jam dari sini ke terminal”.  Ok pikir saya.

Lantas saya teringat bahwa teman sekolah, tepatnya sekolah dasar saya ada yang bekerja sekaligus tinggal di seputaran Solo. Dengan sigap saya check handpone kemudian mengirim pesan ke teman saya, bahwa posisi saya di Solo. Dan tentu bertanya apakah dia selo tidak waktu itu, jika gak sibuk bolehlah ketemu saya dan saya akan mentraktir dia.

Handpone saya berbunyi dan mendapat pesan dari teman saya bahwa ia tak sibuk dan bisa menemui saya saat itu juga. Namun ia nunggu motornya yang dipinjamkan kepada temannya. “Paling jam 2-an udah sampe kost”. katanya. Oke-lah pikir saya. Ia juga berkata bahwa perjalanan dari kostnya menuju terminal Tirtonadi memakan waktu 45 menit. Gak masalah bagi saya, karena saya ingin menikmati makan dan juga istirahat walaupun dari Jakarta belum makan sama sekali, cuman kemasukan air botol 600 ml, pun tak habis.

Jam di tangan kiri saya menunjukkan pukul dua lebih dua puluh menit dan bis berhenti di terminal Tirtonadi. Sebenarna perjalanan dari bandara ke terminal tirtonadi menghabiskan waktu tiga puluh menit. Setelah bus berhenti lalu saya bertanya kepada pak sopir, iki wes teko Tirtonadi pak dhe? (Ini udah sampe terminal tirtonadi pak?) kemudian pak sopir menjawab, “wes mas!”. (Sudah mas). Segera saya turun dengan tenang. Karena di bus damri tersebut penumpangnya hanya berempat. Dua bapak-bapak, satu ibu kemudian saya sendiri. Oh ya, kenapa waktu antara saya tiba di bandara ke terminal tirtonadi kok gak setengah jam? Ya karena saya santai dulu, istirahat sejenak di lobby dan juga menunggu para penumpang bus damri. Makanya, pukul 2.20 baru tiba di Terminal tirtonadi.

Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di terminal  tirtonadi. Nuansa dan konsep terminal ini agaklah berbeda dengan terminal-terminal pada umumnya. Mirip-miriplah dengan bandara. Tapi gak juga nding. Agak wah dikit sih dengan terminal-terminal lainnya. Seperti biasanya, saya disambut oleh para tukang ojek, rental mobil, tukang becak dan segala-balanya. Menawarkan jasanya, saya jawab penolakan dengan sopan. “Mboten pak, kula dijemput rencang e” (tidak pak, saya dijemput teman).

Lantas, hal paling pertama yang harus saya temui adalah petugas di terminal. Saya bertanya, dimana pintu keluar utama dan informasi-informasi ringan lainnya. Tak menunggu lama, saya langsung menunggu di ruang tunggu terminal. Entah di belakang atau samping terminal. Saya kurang paham. Saya duduk dengan sedikit kelelahan. Saya mengamati orang-orang berlalu-lalang di terminal ini. Ibu, bapak, anak kecil, muda-mudi, Calo bus, tukang parkir dan lain-lain. Orang-orang berjalan dengan tergesa dengan membawa tas-tas besar, membawa kardus, koper dan sebagainya. Orang-orang itu bergegas dengan cepat. Berjalan dengan pandangan lurus ke depan, dengan sedikit berbicara dan ada juga tawar-menawar antara calo bus dengan calon penumpang. Saya menikmati waktu menunggu itu.

Sepuluh menit berlalu, teman saya memberi tahu bahwa ia sudah menuju lokasi. Tiga puluh menit kemudian, saya mulai bosan dengan menunggu ini. Perut sudah lapar.  Dan benar kata teman saya, bahwa perjalanan menempuh waktu 45 menit. Pukul 3 lebih 15 ia datang.

Rencananya saya akan mentraktir makan atau apalah namanya. Karena teman saya, sebut saja Ari Widodo atau biasa dipanggil Kentung ini sudah lama tak bertemu dan ngobrol dengannya. Idep-idep, reuni kecil. Walaupun Ari kentung ini rumahnya dekat dengan saya (cuman sebelahan desa) namun semenjak lulus SD saya tak pernah ngobrol dengannya. Paling-paling saya ketemu dengannya ketika pas-pasan saja. Waktu dia pulang sekolah, karena rumah saya dilewatinya  setiap berangkat maupun pulang.

Saya kembali berkomunikasi akhir-akhir ini saja. Ketika berteman facebook dan komunikasi beralih kepada bbm.
Kentung clingak-clinguk di depan terminal. Dengan insting yang kuat saya langsung menghampirinya. Kentung dari dulu tak berubah. Masih sama. Ada perbedaan, di ukuran saja.

Ia datang dengan motor matic mungilnya. Saya berpikir, wah ini timpang banget. Kontras sekali antara motor dengan pengendaranya. Saya di sini tak bilang berat badan Kentung besar loh ya. Kemudian saya langsung naik motornya. Oh ya, saya mendapat bisikan gaib bahwa Kentung saat ini berat badannya 1o0 kg lebih. Untuk pastinya hanya Tuhan dan belio yang tahu. Lalu, saya sendiri 55 kg, dan koper saya kurang lebih 15 kg. Berapa hasilnya jika dijumlahkan? Hmmm, 200 kg lebih! 2 kwintal bro! Jika motor matic mungilnya itu bisa bicara maka kira-kira akan menghasilkan teriakan seperti ini “woiii… Turun kalian semua, berat kampret!!. Sialan kalian berdua” begitulah kira-kira teriakan tentang beban yang ditanggungnya.

Saya yang manusia penuh perhatian ini sebenarnya kasian dengan motor matic yang mungil nan kecil itu. Saya ingin turun saja dan jalan kaki. Namun mengingat lagi bahwa saya capek, saya paksakan saja. Gasss terus ‘tung! Saya diajaknya di tempat angkringan. “Ini angkringan konsepnya beda bro, angkringan yang berkonsep cafe” katanya. Wah cocok itu tung. Oke! Jawab saya dengan semangat. Ya, karena saya sudah kelaparan sebenarnya.

cafedanagan
Cafedanagan
menu cafedangan  manahan solo
menu cafedangan manahan solo

Tak memakan waktu lama, sekira limabelas menit kami sampai di angkringan tersebut. Namanya CAFEDANGAN, daeraha Manahan. Cafedangan memiliki tagline atau mengklaim bahwa “Senikmat di cafe, semurah di Wedangan”. Saya langsung mengambil 3 bungkus nasi kucing dan juga beberapa sate juga gorengan. Di sisi lain, Kentung dengan malu-malu ngambil makannya. “Cuman siji jhe, nasimu?” Tanya saya. “Iyo bro, udah kenyang og aku” jawab kentung. Saya memesan beberapa jenis sate, dan saya minumnya es jeruk. Kentung juga. Habis 56 ribu saja.

Ari "Kentung" Widodo sedang makan dengan lahap
Ari “Kentung” Widodo sedang makan dengan lahap

Di tengah asiknya makan, saya menawarinya lagi nambah lagi gak, ia cuman jawab gak bit. Udah. Nasi dan segala temannya langung tandas saya makan tanpa baibu. Pun juga dengan Kentung. Makan selesai. Lalu kami ngobrol-ngobrol waktu masih sekolah dasar. Dan tentu obrolan-obrolan tenang Siapa saja yang sudah menikah, si ini dimana, si itu kerja apa dan nostalgia lainnya.

Hujan tetiba datang. Seakan-akan ia nimbrung dan ikut nostlagia kami. Wah ndak asik ini. Makanan sudah habis tapi ujan semakin deras. Saya langsung berinisiatif pesan makanan lagi. Kentung orange float dengan roti bakar sri kaya. Saya tak mau kalah, saya pesan roti bakar ovaltine dengan wedang uwuh. Ya, wedang uwuh. Saya bertanya kepada Kentung, “minuman apa yang paling aneh disini, saya akan membelinya”. Tanya saya. “Wedang uwuh!”. Jawabnya. Saya sih nurut aja, dengan manusia jumbo satu itu.

Pesanan datang. Gubrak! Makjegagik! Saya kaget! Minuman yang dihidangkan adalah wedang jahe, dan dicampur dengan berbagai macam kayu dan apalah-apalah. Sontak dengan polosnya saya bertanya kepada Kentung. Uwuh itu artinya apa? Ia dengan sergap mengambil handpone-nya langsung browsing dan menjawab, “sampah!” Wahaha, dalam hati saya, uasuuu!!

wedang uwuh
wedang uwuh

Kentung meneruskan omongannya. “Lha tak kira kamu pesan yang lain. Bukan wedang uwuh”
Minuman dan roti bakar tersebut seharga 44 ribu. Untuk ronde kedua. Dan jika dijumlahkan kami menghabiskan seratus ribu rupiah.

Perut kenyang. Dan sekali lagi, saya masih akan melakukan perjalanan yang agak melelahkan sekitar sembilan puluh menit untuk menuju rumah saya. Kampung yang indah nan tentram. Ngawi….