Saat memutuskan mendirikan Digitalic, saya masih bekerja di salah satu digital agency. Menurut saya, saat itu belum bisa menghidupi saya dan tim. Hampir tiap minggu, kami kumpul di rumah kontrakan. Saat itu, kami berlima.

Apa yang kami lakukan? Tak lain adalah kebanyakan ngobrol yang tidak berkaitan dengan Digitalic. Misal durasi ngumpulnya 5 jam, 4 jam untuk makan, bercanda, cerita tentang ngeblog, sisanya baru bahas mengenai Digitalic. Itu pun, gak serius.

Setelah berjalan dan mendapat kepercayaan dari klien (kontrak panjang), dan yakin bisa ‘menghidupi’ berlima, akhirnya saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan utama. Saya agak sedikit nekat. Padahal, anak pertama saya baru saja lahir sekitar sebulan.

Titik itulah kami memberanikan diri untuk membuat legalitas. Tapi, terdapat kendala baru, salah satu tim memutuskan untuk tidak ikut berjuang bersama dengan Digitalic. Akhirnya, kami mulai fase baru berempat, sampai sekarang.

Selanjutnya, awal keseriusan kami dalam membangun Digitalic adalah dengan menyewa private office ‘mungil’ di salah satu coworking space di Jakarta Selatan. Literally mungil, karena hanya berkapasitas 4 orang.

Momen ngantor bareng ini sebenernya agak akward, karena sebelumnya kami gak terlalu serius dalam menjalankan Digitalic, ketika ngantor jadi ketemu tiap hari.

Untungnya sepertinya yang saya ceritakan di atas, bahwa kami sudah memiliki 1 klien yang berani kontrak panjang. Jadi, mayoritas aktivitas kami untuk mengerjakan klien tersebut. Kami kerjakan berempat, mulai dari brainstorm ide konten media sosial, bikin editorial plan, copy, desain, posting, analisis, dan lain sebagainya. Tentu, setiap orang memiliki perannya masing-masing. Tapi, intinya kami saling backup satu sama lain.

#CeritaMembangunDigitalic

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here