Desa dan Kota 02

Kalau belum membaca yang “Desa dan Kota” disarankan membacanya terlebih dahulu ya

Disini : »» Desa dan Kota

Kota yang ideal adalah kota yang sadar dengan kemanusiaan dan alam (jangan lagi membangun gedung-gedung lagi yang membuat amblas kota ini). Sadar disini dimaksudkan pada semua manusia yang hidup di kota dan terutama para pemimpin-pemimpin yang konon bekerja untuk rakyat itu. Pertama sadar dengankemanusiaan, lihat saja penghuni-penghuni kota Jakarta, acuh tak acuh, dengan kanan-kiri rumah saja tak kenal, apalagi untuk bertegur sapa. Kemanusiaan di sini sudah terkubur dalam-dalam dan semakin ditimbun hari demihari. Aku mendambakan kota seperti kehidupan di desa, yang saling ramah tamah, tolong menolong, bergotong royong,saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kita bisa mulai dengan diri sendiri, ya memang prosesnya lama dan mungkin kebanyakan tak sanggup, tapi mari, demi kebaikan kota bersama. Yang katanya bangsa timur selalu menjunjung tinggi ramah tamah dan kesopanan. Mari kita adakan kembali semboyan itu!!!.
“Memanusiakan manusia” meminjam dari Pramoedya Ananta Toer, memang itu kunci yang membuat kota akan maju dan tak seperti sekarang ini!

Kedua, sadar dengan alam. Apa yang terjadi akhir-akhir ini adalah banjir di berbagai sudut kota. Memang, warga disini kebanyakan belum sadar dengan sampah. Pikir mereka, ah orang aku hanya membuang sedikit saja, dia saja membuang sampah banyak, dan tak ada yang melarang! Mungkin pemikiranku salah. Di setiap sudut-sudut gang terdapat papan pengumuman “DILARANG MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN” tapi apalah arti kata itu, nyatanya sampah dimana-mana dan pemerintah yang membuat papan pengumuman itu diam saja. Sudah menjadi budaya kalau aku bilang. Mari pemerintah dan kita bersama-sama sadar akan hal kecil ini (yang membuat bencana besar).

Tak hanya sampah, pembangunan gedung-gedung yang congkak itu harus dihentikan! Pemerintah jangan member izin pada kapitalis-kapitalis yang membuat warga kecil sengsara hidupnya. Jangan hanya mementingkan perutmu dan kelompokmu! Dampaknya juga tidak sampai disitu, tanah tidak mampu menahan bangunan-bangunan itu. Serapan air tak ada. Pemipin dan kapitalis-kapitalis itu harus sadar dan kembali ke jalan yang benar!!!
Taman kota harus ada, dan itu wajib! Tak bisa ditawar lagi. alangkah indahnya bila di berbagai sudut kota ada tumbuhan, hijau dimana-mana. Kita melihat saja akan segar dan terbawa suasana. Tak seperti sekarang kita melihatnya sudah sumpek dan membosankan.

Sedikit tentang Transportasi
Penjualan mobil maupun motor seharusnya bisa diperhatikan dan diatur, berapa ribu motor baru yang keluar dari dealer dalam sehari? Dan berapa ratus mobil yang keluar dari showroom mobil-mobil mewah itu?. Harusnya bisa diatur, melihat di sekitarku saja, tiap pintu kontrakan sepeda motornya dua, tiga, dan jarang yang tidak punya kendaraan bermotor, walaupun belinya dengan cara mengangsur. Penjualan harus diatur. Serta transportasi umum harus dirubah sistemnya. Mungkin para Profesor-profesor yang ahli dalam transportasi bisa menjawabnya. Pandangan orang awam sepertiku, Busway, Angkot (angkutan kota) serta Metromini itu bisa dirubah sistemnya, jangan acak-acakan seperti sekarang tak jelas dan tak tepat waktu. Metromini yang suudah tak layak dipakai masih saja dipaksakan untuk mencari uang. Keselamatan penumpang harus diutamakan! Waktu dan terminalnya juga harus diatur sedemikian rupa. Bukan angkut dan menurunkan penumpang seenak udelnya!

Tulisan di atas menyambung tulisan “Desa dan Kota” yang aku posting di blogku. Adapun komentar yang aku dapatkan melalui mention di Twitter. Diantaranya sebagai berikut :
Ada yang bilang “terimakasih sudah berbagi inspirasi hijau”, Ada yang bilang “Nah ini ciamik!”, ada yang bilang “cerita tentang desanya kurang itu. Kan sekarang banyak ordes (orang desa) yang lebih memilih ke kota” ,ada juga yang bilang “intine Jakarta kota sampah” adalagi “ tulisan mu belum runut, tapi idenya ciamik dan bagus…” Om Heri Latief yang tinggal di negri yang nun jauh, negeri Kincir Angin itu berkata “mantab! enakan tinggal di desa ya, udaranya seger gak kayak di kota “, dan ada juga mention dari @purplerebel alias mbak Dhyta Caturani ini mengatakan “bagus, kamu lanjutin dong, kota seperti apa yang ideal buatmu dan apa yg bisa kita lakukan ”

Pertama aku ucapkan terimakasih sudah membaca tulisan itu, terimakasih juga dengan komentar kalian. Menurutku komentar kalian merangsang aku untuk menulis lanjutannya. Memang benar tulisanku kurang runut, tapi aku memang tidak berbasic dari peulis, yang sekolah bertahun-tahun untuk mempelajari ilmu tulis menulis, dan aku juga tak pernah ke perpustakaan yang penuh dengan kumpulan buku dan segudang ilmu di dalamnya. Tapi aku hanyalah anak dari seorang petani yang lulusan SMK di sebuah kota kecil di Ngawi. Akupun tak paham tentang bagaimana menulis dengan benar, menulis dengan runtut, menulis dengan bahasa yang baik dan apalah aku tidak paham.
Aku mendapat ide itu juga apa yang aku lihat sehari-sehari, di sekitarku. Dan kebetulan aku sedang tak bekerja (tuna karya) makanya ada waktu luang, aku mencoba merangkai kata demi kata yang ada di kepalaku, apa yang kulihat dan apa yang ku rasakan aku tuang dalam tulisan.

Terus terang, aku juga ingin bekerja dan membantu biaya pengobatan Ibuku yang sedang sakit di kampung. Sayang, di sini di kota ini aku belum mendapatkan pekerjaan. Kalian pasti juga tahu susahnya mendapat kerjaan, seperti apa yang ada dalam lagunya Iwan Flas “Sarjana Muda”, dalam lagu itu menggambarkan seorang pria lulusan sarjana yang susah mencari kerja,dari pintu ke pintu kantor lainnya dia melamar pekerjaan yang ia dambakan tapi yang didapat adalah penolakan.
Apalagi dengan aku yang hanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan, sudah dipastikan perusahaan-perusahaan banyak yang menolak jasaku untuk bekerja di perusahaannya. Mungkin di kota ini lulusan seperti aku ribuan, tapi di kampungku, lulus SMK sudah bangga, karena jarang yang sekolah sampai SMU/SMK. Di kampungku setelah lulus SMP langsung merantau ke kota entah bagaimana nanti nasibnya di kota yang penting bisa kerja (apa saja) dan mendapatkan uang untuk menyambung hidup orangtuanya di kampung. Tapi bukan berarti aku menyerah dengan keadaan dan mengutuk hidupku.

Memang benar dan aku sangat setuju dengan komentar Om Heri Latief itu, udara disini sangat-sangat kotor tak seseger di desa. Untuk Mbak Dhyta Caturani kota yang ideal menurutku seperti itu, entah benar atau tidak.

Mungkin itu hanya ada yang ada di pikiranku, maaf kalau ada yang salah dengan tulisanku ini. Tulisan di atas hanya pemikiran dari anak kampung yang bodoh sepertiku. Terimakasih.

Salam Merdeka!!!

{Terimakasih buat Bustanul Bokir Arifin yang sedia mengajari saya menulis}

oleh Robit Mikrojul Huda
Follow my Twitter @RobitMH
Jakarta, 6 Januari 2013

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here