Bagi keluarga saya, kopi adalah minuman pokok. Setiap hari selalu minum kopi di keluarga kami. Ibu saya jika meracik kopi untuk bapak saya pasti sangat enak dan pas. Ibu sudah hafal kebiasaan bapak saya itu. Minum kopi sehari 3 kali, seperti makan. Pokoknya sepanjang hari itu di meja dapur kami, selalu ada kopi untuk bapak saya. Sekali-kali saya minta dibuatin kopi juga. Bercerita tentang kopi, membuat ingatan saya menarik ke belakang kenangan-kenangan saya bersama keluarga sewaktu saya belum bekerja dan tinggal bersama orangtua.

Ibu saya adalah pedagang ulung, marketing yang hebat dengan strategi dan taktiknya. Ia tak seperti tetangga-tetangga saya yang mayoritas di desa bertani. Ibu saya berdagang dari saya belum sekolah sudah dagang, tak tahu pastinya kapan mulainya. Berdagangnya macam-macam, pernah membuka toko sembako dengan segala isinya dan jual beli hasil bumi, seperti padi, kacang, kedelai dan lainnya. Tapi ketika saya masuk SMP, ibu saya fokus dengan yang terakhir. Bekas toko kelontongnya dijadikan gudang untuk menyimpan hasil transaksinya, maksudnya padi dan teman-temannya.

Kok jadi cerita tentang berdagang sih? Oke, jadi gini, ibu saya jika membuat kopi untuk ayah saya itu adalah kopi hasil karyanya sendiri. Maksudnya mulai dari biji kopi, hingga menjadi bubuk kopi. Ibu saya hampir tiap hari pergi ke pasar. Nah ibu saya selain belanja sayuran dan lainnya, juga membeli biji kopi. Iya, biji kopi, bukan biji yang lainnya. Ia membeli beberapa kilo untuk dijual lagi dan untuk dikonsumsi keluarga kami. Proses dari biji kopi menjadi secangkir kopi itu sangat menguras waktu dan tenaga ibu saya, proses tradisional dan hand made. Tak seperti di cafe-cafe atau tempat nongkrong yang tinggal mencet kopinya sudah jadi, tak ada seninya sama sekali dan terlalu instan.

Jadi, saya akan menceritakan proses yang dilakukan ibu saya agar menjadi kopi yang nikmat. Dan mungkin paling enak yang pernah saya minum. Pertama biji kopi digoreng, digorengnya tidak dengan penggorengan yang biasa untuk masak atau nasi goreng itu. Apa ya namanya, pokoknya penggorengan itu dari tanah, kurang tahu saya namanya. Nah proses itu saja bisa memakan waktu lebih dari 2 jam. Dalam proses pengolahan itu, ibu saya mencampur kopi itu dengan gula pasir, jadi di dalam penggorengan itu, biji kopinya menjadi berkelompok dan menggumpal dan pastinya lengket.

Mengolahnya tak sembarangan, harus dibolak-balik terus agar kopinya tak gosong dan menjadi pahit. Setelah proses itu selesai,  biji kopi itu dibiarkan dingin dulu, sekira 1 jam. Lalu, ini pekerjaan yang paling berat dan menguras keringat. Ibu saya menumbuknya biji-biji kopi di dalam tumbukan batu itu hingga halus. Barulah kopi tadi bisa diseduh dan diminum, dan tak lupa dijual. Ibu saya tak mau dalam proses menghaluskan itu dengan mesin penggiling atau penghalus, ia pernah mengatakan pada saya nanti rasanya sudah beda dan sedikit hambar. Entah benar atau tidak, tapi sampai sekarang saya percaya dengan hal itu.

Itulah kopi yang saya dan keluarga saya minum setiap hari, murah dan nikmatnya melebihi kopi sachet dan kopi di cafe-cafe. Tak heran banyak yang membeli kopi (bubuk) pada ibu saya. Seni membuat kopi menjadi bubuk  itu dilakukan hingga saya SMA. Eh 3 tahun belakangan ini sih ibu saya tak melakukan proses itu. Ia kecelekaan motor ketika ia mau pergi ke pasar kalau gak salah, ia naik motor sendiri. Dan tangannya sekarang agak cidera. Jika untuk melakukan pekerjaan yang berat terasa sakit. Ia sekarang hanya berdagang hasil bumi. Para tetangga-tetangga kami, jika waktunya panen kurang beberapa hari, sudah meminjam uang kepada ibu saya, lalu musim panen tiba langsung pada berduyun-duyun ke rumah kami, untuk menjualnya.

Itu adalah sedikit cerita tentang kopi. Cerita tentang seninya minum kopi yang melalui proses panjang. Kopi adalah minuman bagi keluarga kami, tak hanya untuk bapak. Tapi untuk semuanya.

Anak-anak zaman sekarang kebanyakan tak tahu. dan mungkin tidak tahu bagaimana prosesnya. Ia tahunya tinggal menekan tombol kopi kesukaannya di cafe atau tempat nongkrong. Dunia modern memang membuat apa-apa menjadi instan dan waktu yang cepat. Tapi, menikmati proses dari satu tahap ke tahap lainnya adalah seni dan karya kopi yang luar biasa. Ketradisional-an memang semakin lama digusur oleh dunia modern, saya salut dengan orang-orang yang masih konsisten dengan semua itu.

Kadang saya kangen dengan kopi bikinan ibu saya. Saya disini konsumsi kopi ya dari kopi sachetan yang sekali beli harganya seribu, jika sedang di luar ya tak jarang tetap saya beli kopi sachetan yang a la kadarnya rasanya. Kopi tradisional adalah seni karya yang luar biasa dan akan menjadi langka karena para pelakunya sudah berkurang dan generasi muda tak memahami itu.

***

Sekarang ini juga ada kopi lelaki yang bisa kita nikmati. Meski masih belum banyak orang yang tahu, konon kopi ini menjadi obat kuat pria. Hal ini bisa dibilang dengan obat kuat herbal. Semoga dengan inovasi dari kopi, akan membantu tak hanya pria saja, akan tetapi untuk semuanya.

Robit Mikrojul Huda

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here